KISAH MASYARAKAT DAYAK IBAN MUALANG DI MASA LALU
“TUA’ LANG NGINDANG ”
Panglima Lang
Ngindang
( Versi Bahasa Mualang)
Oleh: John RP
Hilang Kisah
Timbol Cerita, Tangkap Kerama’ Jual ke Cina, Bula’ Aku, Bulak Urang Tuai.
Nyurok Nyemah
Ku Nusoi Ka bala Kita’
Kisah Urang Kelia’,
Mali Mulut
Salah Jako’, Jari Salah Jamah, Minta Maaf Ka Kitak.
Dayak Mualang adalah satu
diantara kelompok Dayak Iban yang dimasa lalu mengamalkan tradisi mengayau. Diceritakan
pada masa lalu, ada seorang panglima perang yang terkenal di zamannya bernama Tua’ Lang Ngindang (Tua’ dalam Bahasa kelompok Iban adalah gelar seorang Panglima Perang).
Tua’ Lang
Nginang jika di artikan
secara harafiah adalah Burung
Elang melayang diudara mengintai mangsa, tentu saja ini hanya sebuah gelar/ julukan
bagi seorang panglima perang orang mualang yang memiliki kelebihan mengintai musuhnya.
Di masa lalu, dalam tradisi mengayau (head
hunter), kehidupan masyarakat selalu mengandalkan para pendekar-pendekar (manok
sabung) maupun para jagoan-jagoan yang dijuluki Bujang Berani. Para manok
sabung adalah meeka yang mempunyi kelebihan khusus dan pengalaman perang yang
banyak sedangkan bujang berani, umumnya para pemuda-pemuda yang masih bujang
yang memiliki keberanian untuk menguji nyali dan menimba pengalaman melakukan
pengayauan, dimasa itu kewajib mengayau mendapatkan kepala musuh diluar wilayah
kelompoknya adalah suatu pujaan dan di agungkan oleh kelompoknya.
Berdasarkan kisah orang tua
kepada generasi saat ini, Tua’ Lang
Nginang ketika turun mengayau selalu mengintai keberadaan musuh terlebih
dahulu, terutama ia gemar naik ke atas pohon yang tinggi, gemar bersembunyi
diantara rampu’ (semak), rimbunnya lalang, dan tak pernah bisa ditebak musuh
keberadaannya. Dimasa lalu daerah mualang
yang berbatasan dengan kelompok suku lainnya, kerap kali menjadi jalur lewat
oleh para pengayau, yang selalu menyerang tanpa diketahui dari mana dan
kelompok mana, sebab daerah mualang adalah batas dengan berbagai macam sub
kelompok Dayak lainnya. diantaranya, berbatas dengan wilayah Jangkang (jengkang/chengkang),
berbatasan dengan Ketungau Sesaek, dan suku-suku lainnya. Didaerah seperti inilah
para bujang berani menguji nyali guna berburu kepala untuk mendapatkan mas
kawin (hadiah) berupa kepala musuh sebagai syarat melepaskan masa akil balik
dan sudah mampu menjaga wilayahnya dan melindungi kelompoknya, jika berhasil
maka dapat membawa pulang kepala manusia namun jika terbunuh maka cukup dikenang
oleh kelompoknya.
Disuatu ketika Tua’ Lang Ngindang bersama pengikutnya
melakukan ekspedisi berburu kepala kewilayah batas teritorial musuhnya, Tua’ Lang Nginang membawa serta bala bujang berani yang menyertai
perjalanan nya sebanyak sepuluh orang. Diantara para musuhnya nama Tua’ Lang Nginang selalu membuat musuh
ragu dan segan untuk menghadapinya, hal ini dikarenakan keahlian, pengalaman
strategi mengayau Lang Nginang, begitu lihai, dan sulit ditebak
musuh. Hanya musuh tertentu yang merasa sepadan saja yang seringkali mencoba
untuk masuk wilayah orang mualang di masa lalu. Umumnya yang masuk wilayah
mualang sangat jarang yang dapat kembali ke daerahnya dan berakhir terkayau.
Sebaliknya Tua’ Lang Nginang ketika masuk
wilayah musuh seringkali pulang kedaerahnya membawa pulang kepala musuh.
Suatu saat rombongan Tua’ Lang Nginang menyusuri wilayah
musuh kayaunya, ia menemukan sebuah tempat yang baik untuk beristirahat,
dibawah sebuah pohon tapang yang sangat tinggi biasanya tempat lebah bersarang.
Disaat mereka sedang beristirahat, satu diantara pengikut Tua’ Lang Ngindang mengintai keberadaan musuh dengan cara melihat bekas
/ jejak, mencium bau arah angin, maupun secara auditif / pendengaran mengikuti
arah angin, serta tanda burung tertentu. Tak lama kemudian terdengar suara
samar-samar bunyi manusia lain yang lewat, dan bunyi tersebut seakan ramai atau
mengisyaratkan sebuah kelompok. Oleh pengikut Tua’ Lang Nginang diidentifikasikan bahwa ada kedatangan kelompok
lain melalui sebuah jalur menuju kearah mereka. Tua’ Lang Nginang mengatur strategi dengan cara memerintahkan pengikutnya
berpencar mencari tempat yang baik untuk menyergap musuh. Satu diantara
strategi nya adalah meniinggalkan bekas guna menarik perhatian musuh agar
mendekati bekas tersebut dan konsentrasi terhadap bekas yang sengaja dibuat
oleh bala mualang. Setelah pengikut Tua’ Lang Nginang berpencar, Tua’ Lang Nginang naik keatas pohon tapang sampai ke tempat yang dirasa
cukup untuk mengintai musuh yang digiring masuk ke rencana serangan kelompok Tua’ Lang Nginang. Tak lama kemudian
mulai tampak rombongan pengayau lainnya menuju masuk kearea tempat Tua’ Lang Nginang beserta pengikutnya
mempersiapkan diri. Setelah dirasa tepat
sesuai strateginya, maka Tua’ Lang
Nginang Nyelaing (teriakan khas
perang orang mualang) teriakan tersebut didengar oleh musuh dan musuh mulai Nariu (teriakan perang), menyerang arah
suara yang ditimbulkan oleh Lang Nginang. Musuh mengepung pohon kayu dalam
radius tertentu guna mendapatkan korban kayau, dalam hal ini Tua’ Lang Ngindang yang mengintai dari
atas pohon. Pihak musuh telah meresa yakin bahwa kali ini Tua’ Lang Ngindang menjadi sasaran kayau mereka, maka mereka
memperagakan tarian dan teriakan perang, mereka menari dan mengibas-ngibaskan
Nyaburnya mengepung area pohon tapang tempat
Tua’ Lang Nginang bersembunyi. Tak
berselang lama kemudian tiba-tiba terdegar suara bunyi suara burung kenyalang yang
ramai dan saling bersaut-sautan disertai datangnya angin kuat (kudi’), melihat situasi tersebut Tua’ Lang Nginang melepaskan baju maramnya (baju adat tenun Dayak mualang) mengaitkannya pada suatu dahan dipohon tersebut
agar tetap terihat, disaat bersamaan Tua’ Lang Ngindang meloncat dari pohon
tersebut kepohon lainnya dan menuju ke kelompoknya yang sedang menunggu tanda
dimulainya serangan guna menyergap musuh. Disaat angin dan suara burung
kenyalang berangsur - angsur menghilang,
musuh yang telah panik, beberapa diantaranya menuju pohon tapang tempat Tua’
Lang Nginang mengintai dan naik keatas ingin mengambil Tua’ lang Nginang segera mungkin. Setelah musuh tiba diatas pohon
mereka berteriak bahwa Tua’ Lang Nginang
menghilang (ayas), yang ditemukan hanya baju maram saja. Mendengar informasi teriakan
temannya dari atas pohon, bala pasukan musuh langsung seketika menyebar mulai
tampak ketakutan bahwa orang mualang bisa menghilang. Saat itulah pasukan Tua’ Lang Nginang tiba-tiba muncul dari balik lebatnya hutan,
dari balik pohon, dari bawah rampuk ( semak-semak yang rendah) menyergap musuh
– musuhnya, mereka Nyelaing / Mangkas (melakukan teiakan perang yang khas, guna
mengambil semangat musuh) mereka mencabut nyaburnya dan bertarung dan banyak menewaskan musuh. Pemimpin perang pasukan
musuh / Panglima perang musuh berhadapan dengan Tua’ Lang Nginang, ia berusaha memantapkan / mengibas-ngibaskan
nyaburnya ke berbagai arah guna mengenai Tua’
Lang Nginang, namun disuatu kesempatan Tua’
Lang Nginang meloncat tinggi dan memekik (nyelaing/ mangkas) membuat panglima
musuh pucat dan mati semangat terbujur kaku tak sempat mengangkat terabai (perisai)
dan saat itu Nyabur (pedang) Tua’ Lang
Nginang dapat memancung (mumpong) kepala panglima musuh tersebut. Di
situasi yang berbeda pula bala bujang
berani mualang telah bertarung
dan merobohkan satu persatu bala musuh mengakibatkan musuh habis terbunuh. Sementara
musuh yang semula naik ke pohon, tidak berani turun dan lari. Bala pasukan Tua’
Lang Nginang memaksa musuh yang tersisa tersebut untuk turun dan menjadi
tawanan (ulun) dibawa ke menua ( wilayah) mualang. Dari sekitar dua puluh musuh
yang datang menyerang hanya tiga orang yang hidup dan menjadi tawanan.
Tua’
Lang Nginang bersama pasukannya telah berhasil mengahkan
musuh, mereka pulang ke menua mualang, kemenangan perang mereka disambut dengan
upacara adat “Ajat Temuai Datai” (menyambut
tamu kehormatan / tamu agung yang pulang dari ekspedisi mengayau dan
mengalahkan musuh) ketika masuk ke wilayah mualang. Diawali dengan Nyelaing (
terikan perang) sebanyak tujuh kali sebagai tanda bahwa mereka telah menang dan
taka da korban dipihaknya. Adapun kepala hasil kayau (hasil penggal) disambut
oleh para wanita-wanita mualang menggunkan wadah beralaskan kain tenun (kain
kebat) dan menari / ngajat nyamut pala’. ( tari menyambut kepala manusia).
Berdasarkan pengalaman yang
kebeberapa kali pengayauan dari menua Jangkang
ke daerah mualang dimasa lalu, selalu gagal, maka timbul istilah orang Jangkang memberikan gelar kepada Orang
Mualang dengan sebutan Orang Engkayas
artinya orang yang bisa menghilang ( engkayas / ayas = menghilang) dan juga
timbul istilah dikalangan orang mualang jaman dahulu, jika mengayau ke daerah
Jangkang mereka menggunakan istilah mengayau ke arah matahari padam dan juga
jika mengayau ke Jangkang, ibaratnya menangkap ayam dalam kurungan ( upa berap
manok dalam engkerungan) sebaliknya orang jangkang juga memunyai istilah jika
mengayau ke daerah mualang diibaratkan makan lia / jahe di tengah panas
matahari (makan lia’ tengah ari) mengandung arti panas atau susah atau
untung-untungan jika hidup. Demikianlah cerita orang mengayau di jaman dahulu
sebagai sejarah peristiwa, buah cerita generasi masa kini.
Sumber : Masyarakat daerah
Belitang Hilir, Menawai. 1995
Da tulis ulang Th. 2020
Keterangan:
1. Tua’ dalam bahasa Iban Mualang adalah : Panglima Perang.
2. Manok Sabung merupakan istilah, guna menyebut para
ksatria-ksatria / pendekar- pendekar jago-jago yang dapat diandalkan / wakil
tuak di medan kayau.
3. Bujang Berani adalah para pemuda / bala yang
keberaniannya dalam bertarung tak diragukan, bujang berani adalah petarung
sejati dalam mengayau.
4. 5.Gambar Ilustrasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar