Ngajad da Rumah Panjai Pontianak

Ngajad da Rumah Panjai Pontianak
Ajat Temuai Datai ( Mualang )

Selasa, 18 Oktober 2022

TENUN ORANG MUALANG (IBANIK)

TENUN ORANG MUALANG

Kain Tenun yang dibuat orang Mualang dimasa lalu sangat inspiratif, terutama

pada proses pembuatannya, adapun kain tenun tersebut dapat berupa selampai

(selendang) ataupun yang kini disebut dasi atau sal/slayer yang dililitkan pada leher,

dan kadangkala dihiasi warna merah dan berbagai bentuk kain yang dijadikan pakaian

tradisi di masa lalu. Adapun jenis tenun-tenun seperti ini di sebut: Kain Tenun Amat.

artinya Kain Tenun Sejati atau Kain Tenun sesungguhnya / Sebenarnya yang

dibutuhkan. Demikian pula terdapat jenis kain lainnya yaitu Kain Kebat. Kain Kebat satu

diantara kain tenun yang didasarkan dari mimpi, membentuk imajinasi yang menjadi

inspirasi sang penenun. Adakalanya inspirasi yang berbentuk motif atau corak mimpi

dilukiskan atau ditenun mengandung resiko kepada penenun, jika tidak mirip seperti

imajinasi berdasarkan mimpi yang ia dapatkan sebelum menenun. Adapun Motif /

Corak / Desain tersebut yang dianggap beresiko membahayakan semangat si penenun

umumnya adalah melibatkan motif / corak "binatang". Binatang tersebut bukan binatang

dari dunia nyata atau dunia manusia, tetapi binatang dari mimpi maupun makhluk-

makhluk yang dibayangkan yang mewakili roh-roh yang menginspirasinya. Demikian

pula ketika membuat motif / corak mahluk yang ditemukan dalam mimpi, harus disertai

juga oleh makanan mahluk tersebut, harus ditentukan secara tepat dan dimasukkan

dalam pola. Oleh sebab itu untuk membuat motif / corak mahluk tersebut haruslah

mengikuti aturan berdasarkan petunjuk seseorang yang berpengalaman dalam

menenun mengenai hal yang boleh maupun yang tidak boleh (pantang larang) atau Jika

tidak, lebih baik dihancurkan sekalian motif/corak mahluk yang dibuat yang tak sesuai

pantang larang metode pembuatannya sebab dipercaya, makhluk seperti itu bisa

berubah menjadi roh jahat dan melukai penenun dengan kebutaan, kegilaan, penyakit,

keguguran, dan bahkan kematian.

untuk keterangan lebih lanjut dapat membuka link dibawah ini: 


https://drive.google.com/file/d/1GuBU-hUNAvHKJMO_kajTjNW4m1I9m6bt/view?usp=sharing



Orang Tua Mualang sedang Menenun

Orang Mualang dari Merbang Belitang Hilir. Kab. Sekadau
 Dok. Donatus Dunselman 1955



Kain Tenun biasa di pakai oleh kaum lelaki sebsgai pakaian adat yang disebut; 
Kelami' Maram dan Sirat Maram  



Kain Kebat yang digunakan para wanita Mualang




Kamis, 26 November 2020

TARI DAYAK MUALANG ( IBANIK) RAGAM GERAK NGIRING TEMUAI

 

RAGAM / MOTIF GERAK NGIRING TEMUAI SEBAGAI DASAR PEMBUATAN KARYA TARI UTUH.

Oleh: John Roberto Panurian. 2020

  

Ngiring Temuai adalah proses pengiringan tamu ataupun pemanduan tamu sampai ke depan Rumah Panjai (rumah panggung yang panjang). Proses ngiring temuai ini dilakukan dengan cara ngajat (menari) setelah pertama kali melalui upacara adat atau be_ajat / berhajat, dengan cara mengayunkan seekor ayam jantan (persembahan upacara adat kepada petara) di belakang umpang (bambu yg dilintangkan), dan setelah kepala suku mengunsai beras kuning (menghamburkan beras yang dicampur kunir/beras kuning) dan membacakan pesan atau mantra / doa dengan alunan vocal yang disebut bebiau/bekibau/bekitau sebagai syarat mengundang Senggalang Burong, (dewa yang dipercaya dalam reinkarnasi melalui burung keramat untuk menyampaikan pesan kepada Petara ( Tuhan Yang Maha Esa) ngiring temuai dengan cara ngajat (menari) memandu tamu ketempat selanjutnya.

Berdasarkan Motif / Corak / Ragam Gerak Ngiring Temuai, dipergunakan memandu tamu yang datang dimasa kini, maka gerak tersebut di kembangkan melalui teori dan praktek pengembangan akademisi tanpa jauh meninggalkan ciri identitasnya, yakni pengembangan: aksi, tenaga/usaha, ruang, tata hubungan, selanjutnya memunculkan ragam/ motif gerak pengembangan tradisi tersebut selanjutnya diberi penamaan sesuai bahasa asal ragam itu di ambil dan dikembangkan, yaitu bahasa Mualang. Diharapkan dasar ragam/ motif gerak ini selanjutnya akan melahirkan motif-motif gerak selanjutnya dengan tetap mencirikan tradisi dari mana ia berasal dan ragam/ motif gerak tersebut digunakan dalam menciptakan sebuah tarian utuh, yang tentunya telah distilisasi ( sentuhan keluwesan / keindahan gerak).

Catatan : Gerak / Ragam / Motif Ngiring Temuai, awalnya secara tradisional dilakukan oleh tujuh orang Dara / Gadis, dan tujuh Orang Bujang (perjaka), yang memandu tamu sampai ke kaki tangga rumah panjang, dengan cara gerak tari.

Adapun Ragam Gerak yang lahir dari Ngiring Temuai seperti pada video ini :





Kamis, 24 September 2020

CERITA MENGAYAU VERSI IBAN MUALANG KALBAR (TUA' TEMAH )

 

KISAH MENGAYAU DAYAK IBAN MUALANG

“TUA’  TEMAH”

(PANGLIMA  TEMAH)

 Versi Bahasa Indonesia

 Oleh: John RP

 

 

 

 

Hilang Kisah Timbol Cerita, Tangkap Kerama’ Jual ke Cina, Bula’ Aku, Bulak Urang Tuai.

Nyurok Nyemah Ku Nusoi Ka bala Kita’

Kisah Urang Kelia’,

Mali Mulut Salah Jako’, Jari Salah Jamah, Minta Maaf Ka Kitak.

  

Dayak Mualang adalah satu diantara kelompok Dayak Iban yang dimasa lalu mengamalkan tradisi mengayau. Dimasa itu ada seorang  panglima perang yang terkenal di zamannya bernama Tua’ Temah (Tua’ dalam Bahasa Iban adalah gelar seorang Panglima Perang). Di perkirakan sekitar tahun 1300 (seribu tiga ratus) tahun lalu, seperti yang pernah dituturkan oleh orang-orang tua kepada generasi muda tahun 1990an, ada seorang panglima perang (Tua”) yang bernama: Temah.

Menurut tradisi masa lalu ketika orang-orang Dayak masih melakukan tradisi mengayau, para manok sabung (pendekar-pendekar), para bujang berani (pemuda-pemuda pemberani) selalu siaga menjaga daerah / wilayah yang kerap kali menjadi jalur masuk musuh kedaerah nya, sebab jika daerahnya tidak dijaga maka daerah tersebut sering mendapatkan serangan dari pengayau yang datang. Dayak Mualang merupakan satu diantara kelompok Dayak iban atau yang disebut sebagai Ibanik mempunyai wilayah yang berbatasan dengan berbagai kelompok Dayak lainnya, hal ini menyebabkan mereka banyak mempunyai pahlawan-pahlawan suku yang gagah berani dan sakti guna menjaga menua mereka. Tua’ Temah adalah seorang panglima perang yang mempunyai pengalaman mengayau, dan satu diantara tua’-tua’ yang menjaga wilayah Dayak Mualang, beliau banyak memiliki kelebihan, berani namun bijaksana.

Suatu hari Tua’ Temah bermimpi bahwa padi ladangnya diserang  kekuatan roh jahat yang mengakibatkan  hama padi dan harus ada kekuatan yang mampu menjaga agar padi diladangnya bisa tumbuh lebih baik dan bisa panen lebih banyak. Untuk menghadapi  serangan roh jahat tersebut, mereka harus mendapatkan  roh penjaga agar serangan tersebut bisa digagalkan, adapun roh penjaga dimaksud yaitu seorang yang didapatkan melalui ekspedisi mengayau (berburu kepala manusia). Dalam mimpi tersebut, mengisyaratkan harus melakukan pengayauan ke daerah lain satu diantaranya: daerah kayong wilayah masyarakat ulu ai’. Jika hal tersebut tidak dilakukan maka serangan hama padi / wabah merusak tanaman pangan masyarakat, dalam mimpi tersebut Tua’ Temah tidak di ijinkan pulang ke kampung halamannya sebagai silih jika kepala manusia tidak didapatkan. Hal ini membuat beliau bersedih dan akhirnya mohon petunjuk melalui prosesi adat bedara’ (upacara adat). Saat bedara, Tua’ Temah memanggil Sengalang Burong mohon petunjuk akan melaksanakan ekspedisi megayau, dan diperoleh pertunjuk melakukan ekspedisi ke daerah menua Ulu Ai’. Sebelum melaksanakan ekspedisi mengayau, mereka sepakat siapa saja yang akan ikut dalam ekspedisi mengayau, sebab Tua’ Temah mengatakan kali ini dirinya belum tentu pulang ke kampung  dan berharap mereka yang ikut nantinya pulang ke kampung setelah ekspedisi mengayau. Setelah berembuk dan sepakat, Tua’ Temah berencana membawa sekitar 20 (dua puluh) orang pengikut dan membawa serta 2 (dua) orang manok sabung (pendekar) yaitu: Macan pala dan Macan geroba.  Setelah mereka berembuk dan mempersiapkan keperluan ekspedisi mengayau, kemudian mereka mulai menyusuri arah yang dituju, mereka melewati menua kedeh, di menua itu mereka tidak mendapat hambatan dari musuh dan terus melanjutkan perjalanan ke batang Kapuas. Di seberang batang kapuas mereka menghadapi serangan musuh yang menghadang jalan mereka maka bala Tua’ Temah melakukan pertarungan ditempat itu menghadapi musuh, dan terjadilah pertarungan sengit bala Tua’ Temah dengan bala musuh dari seberang kapuas, mereka menghunus pedang, nyabur (sejenis pedang), Tumbak sangkoh (tombak sekaligus sumpit) melawan bala musuh dan di daerah ini mereka bertarung melawan musuh yang menyerbu dan mengepung keberadaannya. Pihak musuh membawa beberapa orang kuat yang disebut juga Tua’, maju menerjang garang kearah bala Tua’ Temah dan pasukannya  namun bala Tua’ Temah tanpa gentar menghadapi lawannya. Bala Tua’ Temah dengan tetap tenang dan gagah berani melayani serangan musuh, membuat satu persatu musuh tumbang melawan bala Tua’ Temah dalam mempertahankan diri dan mengimbangi lawannya. Adapun lawan  yang menyerang jumlahnya lebih banyak dari pada pasukan Tua’ Temah. Disaat yang tepat suatu ketika Tua’ Temah meloncat tinggi sambil meneriakan teriakan perang mengibaskan nyaburnya dan berhasil memancung kepala Tua’ Musuh, hingga satu diantara Tua’ musuh mati terpenggal. Melihat satu diantara pemimpinnya terbunuh, pihak musuh mulai goyah dan tak se-agresif awal mereka mengepung bala Tua’ Temah. Dan tanpa diduga, seorang lagi Tua’ musuh maju menerjang kearah Tua’ Temah sambil menumbukkan tombaknya menghunjam kearah Tua’ Temah, Beliau dengan gesitnya menangkis, dengan perisainya dan suatu ketika tombak musuh menancap pada perisai Tua’ Temah hingga mata tombak musuh sulit dicabut / lengket di terabai (perisai) Tua’ Temah. Kesempatan demikian digunakan Tua’ Temah mengarahkan tebasan nyaburnya kearah leher musuh dan tepat menjatuhkan kepala musuh. Melihat temannya mati menghadapi Tua’ Temah, datang  seorang lagi Tua’ musuh mengarahkan nyaburnya kearah Tua’ Temah, dan sekali lagi Tua’ Temah dapat menghindar serangan tersebut serta membalas serangan Tua’ musuh dengan cara memancung kepala musuh dan mengakibatkan semua pendekar (Tua’ musuh) mati. Melihat hal tersebut sisa bala pasukan musuh mundur perlahan, sedangkan bala pasukan Tua’ Temah dan Manok Sabungnya yakni Macan Geroba dan Macan Pala terus menekan dan menumbangkan pengayau-pengayau dari seberang  kapuas, bala Tua’ Temah mengepung jalur pelarian ke segala arah, menyebabkan musuh habis terbunuh. Setelah semuanya berakhir, Tua’ Temah bersama pasukannya meneruskan perjalanannya.  Setelah jauh berjalan, bala Tua’ Temah membagi pasukannya lima orang dipimpin Macan Pala mendahului Tua’ Temah guna mengamankan jalur yang akan dilewati sedangkan Tua’ Temah dan Macan Geroba beserta 15 (lima belas) orang pasukannya menyusul kemudian. Setelah sekian lama perjalanan menyusuri arah sungai adau, rombongan Tua’ Temah dan Macan Geroba mendengar suara teriakan perang, dan ternyata bala Macan Pala sedang menghadapi musuh dari dalam sungai adau yang datang menyerang, melihat hal tersebut rombongan Tua’ Temah dan Macan Geroba turut menyerang dan mengepung lawan mereka dan memutus jalur serangan lawan, maka lawanpun banyak yang berguguran menghadapi rombongan pengayau bala mualang. Kali ini mereka bertarung dengan para pengayau yang tak diketahui dari mana datangnya dan tiba-tiba menyerang mereka, hal ini membuat kedua manok sabung Tua’ Temah yaitu Macan Pala dan Macan Geroba menerjang, bertahan dan menyerang musuh dari berbagai sisi, serta menjaga masing-masing bala mereka agar tak terbunuh oleh pemimpin lawan. Macan Pala dengan keahlian khususnya memiliki kecepatan yang luar biasa berhasil lebih dulu membunuh pemimpin pasukan musuh (Tua’)  musuh. Sementara Macan Geroba dengan keahlian khususnya membuat racun garis guna membatasi serangan musuh dan pertahanan, mengakibatkan musuh yang melewati garis pembatas tersebut hilang semangat dan lemah, maka dengan mudah bala Tua’ Temah memancung kepala musuh yang telah hilang semangat tersebut, seperti nyerampang ikan yang tak bisa lari. Karena pemimpin dan pasukan musuh banyak yang tewas, sebagian musuh yang tersisa melarikan diri namun bala pasukan mualang tidak mengejar mereka masuk kehulu sungai adau. Setelah semuanya kembali tenang, Macan Pala, Macan Geroba dan Tua’ Temah mengatur strategi dengan membagi proses perjalanan menuju arah tanah Ulu Ai’.  Macan Pala bersama lima orang anak buahnya tetap tinggal di tempat itu (muara sungai adau) guna menghadang apabila musuh mengejar bala Tua’ Temah nantinya. Sedangkan Macan Geroba mengikuti Tua” Temah dan akan berpisah pada suatu tempat yang nantinya ditentukan. Setelah mengatur strategi selanjutnya rombongan Tua’ Temah dan Macan Geroba melanjutkan perjalanan. sebelumnya, beliau berpesan kepada Macan Pala dan Macan Geroba, cukuplah disini kalian mengantar dan jika nantinya Tua’ Temah menuju ke Ulu Ai’ dan tak ada kabar / berita maka Macan Pala dan Macan Geroba jangan menyusulnya, pulanglah ke menua mualang membawa pala kayau yang mereka dapatkan, hal ini karena Tua’ Temah memang telah berniat melanjutkan perjalanan sesuai mimpinya bahwa dia belum tentu kembali. Macan Pala dan Macan Geroba menyetujui dan bersyukur bisa ikut menjaga jalur perjalanan yang dilalui oleh Tua’ Temah, dan berharap Tua’ Temah memberikan kabar. Selanjutnya mereka mereka berpisah Macan Pala menjaga alur yang dilalui agar pengayau tak mengejar mereka, macan geroba  mengikuti Tua’ Temah sampai pada suatu tempat mereka berpisah, yaitu  simpang kearah muara sekayam sanggau,  suatu ketika disaat perjalanan telah melewati sebuah wilayah lainnya mereka mendapatkan serangan lawan berjumlah sekitar seratus orang dari daerah  ribun yang melakukan ekspedisi mengayau sepanjang kanan kapuas. Bala pasukan Tua’ Temah kali ini berhadapan dengan musuh yang agresif dan ganas mereka menyerbu dan membagi pasukannya menjadi dua serangan. Serangan pertama sekitar 50 (lima puluh) orang menerjang kearah bala Tua’ Temah dan pasukan musuh yang kedua menyerang kemudian sekitar 50 (lima puluh) orang lagi melawan pasukan Tua’ Temah yang dipimpin macan geroba. Melihat pasukan musuh beringas bala Tua’ Temah berusaha bertahan dan membuat posisi pertahanan melingkar, selanjutnya Tua’ Temah nyelaing meloncat dari lingkaran melawan pemimpin bala musuh tersebut, semangat musuh rapuh mendengar selaing / pangkas Tua’ Temah hingga belum sempat pemimpin pasukannya maju, kepala pemimpin musuh jatuh tergeletak ketanah dipancung (pumpong) oleh Tua’ Temah, melihat demikian pertahan pasukan musuh rapuh/buyar dan musuh kehilangan strategi serangan membuat bala pasukan Tua’ Temah semakin semangat bertarung dan banyak menewaskan musuh.  Pada saat bantuan pasukan musuh yang kedua menyerang, Macan Geroba dengan keahliannya memanggil muanyi’ (lebah) agar masuk area serangan dan menyerang pasukan musuh yang datang membantu pasukan pertamanya. Disaat itu pula Macan Geroba secepat kilat mengayunkan nyaburnya, menumbangkan pemimpin musuh yang lain dan memenggal kepala pasukan musuh dan beberapa pasukannya. Dalam pertarungan kali ini dari seratus orang musuh yang menyerang, hanya satu orang dibiarkan hidup dan disuruh kembali pulang ke daerah nya guna memberi kabar. Setelah pertarungan didaerah ini, Macan Geroba pamit memisahkan diri guna menjaga serangan balik musuh dari arah sanggau yang mencoba mengejar Tua’ Temah bersama bala pasukannya. Seperti halnya Macan Pala, Macan Geroba’ membawa 5 (lima) orang bujang berani, dan berjanji kelak jika masih hidup beliau komitmen pulang membawa kepala kayau ke menua mualang. Selanjutnya bala Tua’ Temah beserta pasukannya berjumlah 10 (sepuluh) orang meneruskan perjalanan masuk kearah nanga mahap dan meneruskan kedaerah ulu ai’ sampai menuju ke hulu sungai pawan, sungai sepotong. Saat mengikuti sungai sepotong, mereka merasa haus dan coba untuk meminum air sungai tersebut dan terasa oleh mereka bahwa air sungai tersebut membuat segar hingga membuat mereka singgah di tepi sungai tersebut dan mengisi kerubung labu (tempat air) dengan air sungai tersebut, dan didaerah itu mereka tidak menemukan musuh / pengayau. Selanjutnya mereka menuju menua / kerajaan ulu ai’, setelah lama di wilayah  Ulu Ai’ dan melaksanakan maksud, tujuannya  bala Tua’ Temah berputar balik menuju sungai daerah Banyor, Gorai, Simpang dan di menua simpakng rombongan Tua’ Temah disambut masyarakat dengan hangat dan diterima oleh masyarakat setempat, selanjutnya rombongan tersebut berbaur dengan masyarakat daerah itu dan diantara mereka terjadi perkawinan dan memiliki keturunan. Tua’ Temah beserta rombongannya merasa betah di daerah tersebut mereka melebur dengan masyarakat dan mereka tidak pernah kembali lagi kedaerahnya. Kisah ini adalah satu diantara kisah yang pernah dituturkan oleh Alm. Pak Laten, beliau adalah seorang keturunan Tua’ Temah (panglima Iban Mualang) yang telah menjadi bagian dari masyarakat daerah simpang. Suatu saat beliau bertemu dengan keluarga orang-orang Iban mualang dan beliau menceritakan keturunan mereka.

Semoga kisah ini nantinya menjadi motivasi bagi generasi muda agar tetap semangat dan pantang putus asa dalam mencapai tujuan hidup.

Sumber :

Panglima Esay,

Panglima Jungor Tanyokng,

Alm. Laten.

 Di tulis ulang Th. 2020

 Keterangan :

1. Tua'  dalam bahasa Iban Mualang adalah : Gelar seorang pemimpin pasukan perang.

2. Manok Sabung merupakan istilah, guna menyebut para ksatria-ksatria / pendekar-pendekar jago-jago yang dapat diandalkan / wakil tuak di medan kayau.

3.    Bujang Berani adalah para pemuda / bala yang keberaniannya dalam bertarung tak diragukan, bujang berani adalah petarung sejati dalam mengayau.

4.     Gambar Ilustrasi dari Tropen Museum 1920

 

 

 


CERITA MENGAYAU TUA' LANG NGINDANG MASYARAKAT DAYAK IBAN MUALANG KALBAR

 

KISAH MASYARAKAT DAYAK IBAN MUALANG DI MASA LALU

 

“TUA’ LANG NGINDANG ”

 Panglima Lang Ngindang

 ( Versi Bahasa Mualang)

 

Oleh: John RP

 

 


  Hilang Kisah Timbol Cerita, Tangkap Kerama’ Jual ke Cina, Bula’ Aku, Bulak Urang Tuai.

Nyurok Nyemah Ku Nusoi Ka bala Kita’

Kisah Urang Kelia’,

Mali Mulut Salah Jako’, Jari Salah Jamah, Minta Maaf Ka Kitak.

  

Dayak Mualang adalah satu diantara kelompok Dayak Iban yang dimasa lalu mengamalkan tradisi mengayau. Diceritakan pada masa lalu, ada seorang panglima perang yang terkenal di zamannya bernama Tua’ Lang Ngindang (Tua’ dalam Bahasa kelompok Iban adalah gelar seorang  Panglima Perang).

 Tua’ Lang Nginang jika di artikan  secara harafiah adalah Burung Elang melayang diudara mengintai mangsa,  tentu saja ini hanya sebuah gelar/ julukan bagi seorang panglima perang orang mualang yang memiliki kelebihan mengintai musuhnya.

 Di masa lalu, dalam tradisi mengayau (head hunter), kehidupan masyarakat selalu mengandalkan para pendekar-pendekar (manok sabung) maupun para jagoan-jagoan yang dijuluki Bujang Berani. Para manok sabung adalah meeka yang mempunyi kelebihan khusus dan pengalaman perang yang banyak sedangkan bujang berani, umumnya para pemuda-pemuda yang masih bujang yang memiliki keberanian untuk menguji nyali dan menimba pengalaman melakukan pengayauan, dimasa itu kewajib mengayau mendapatkan kepala musuh diluar wilayah kelompoknya adalah suatu pujaan dan di agungkan oleh kelompoknya.

 Berdasarkan kisah orang tua kepada generasi saat ini, Tua’ Lang Nginang ketika turun mengayau selalu mengintai keberadaan musuh terlebih dahulu, terutama ia gemar naik ke atas pohon yang tinggi, gemar bersembunyi diantara rampu’ (semak), rimbunnya lalang, dan tak pernah bisa ditebak musuh keberadaannya. Dimasa lalu daerah mualang yang berbatasan dengan kelompok suku lainnya, kerap kali menjadi jalur lewat oleh para pengayau, yang selalu menyerang tanpa diketahui dari mana dan kelompok mana, sebab daerah mualang adalah batas dengan berbagai macam sub kelompok Dayak lainnya. diantaranya, berbatas dengan wilayah Jangkang (jengkang/chengkang), berbatasan dengan Ketungau Sesaek, dan suku-suku lainnya. Didaerah seperti inilah para bujang berani menguji nyali guna berburu kepala untuk mendapatkan mas kawin (hadiah) berupa kepala musuh sebagai syarat melepaskan masa akil balik dan sudah mampu menjaga wilayahnya dan melindungi kelompoknya, jika berhasil maka dapat membawa pulang kepala manusia namun jika terbunuh maka cukup dikenang oleh kelompoknya.

 Disuatu ketika Tua’ Lang Ngindang bersama pengikutnya melakukan ekspedisi berburu kepala kewilayah batas teritorial musuhnya, Tua’ Lang Nginang membawa serta bala bujang berani yang menyertai perjalanan nya sebanyak sepuluh orang. Diantara para musuhnya nama Tua’ Lang Nginang selalu membuat musuh ragu dan segan untuk menghadapinya, hal ini dikarenakan keahlian, pengalaman strategi mengayau Lang Nginang, begitu lihai, dan sulit ditebak musuh. Hanya musuh tertentu yang merasa sepadan saja yang seringkali mencoba untuk masuk wilayah orang mualang di masa lalu. Umumnya yang masuk wilayah mualang sangat jarang yang dapat kembali ke daerahnya dan berakhir terkayau. Sebaliknya Tua’ Lang Nginang ketika masuk wilayah musuh seringkali pulang kedaerahnya membawa pulang kepala musuh.

 Suatu saat rombongan Tua’ Lang Nginang menyusuri wilayah musuh kayaunya, ia menemukan sebuah tempat yang baik untuk beristirahat, dibawah sebuah pohon tapang yang sangat tinggi biasanya tempat lebah bersarang. Disaat mereka sedang beristirahat, satu diantara pengikut Tua’ Lang Ngindang mengintai keberadaan musuh dengan cara melihat bekas / jejak, mencium bau arah angin, maupun secara auditif / pendengaran mengikuti arah angin, serta tanda burung tertentu. Tak lama kemudian terdengar suara samar-samar bunyi manusia lain yang lewat, dan bunyi tersebut seakan ramai atau mengisyaratkan sebuah kelompok. Oleh pengikut Tua’ Lang Nginang diidentifikasikan bahwa ada kedatangan kelompok lain melalui sebuah jalur menuju kearah mereka. Tua’ Lang Nginang mengatur strategi dengan cara memerintahkan pengikutnya berpencar mencari tempat yang baik untuk menyergap musuh. Satu diantara strategi nya adalah meniinggalkan bekas guna menarik perhatian musuh agar mendekati bekas tersebut dan konsentrasi terhadap bekas yang sengaja dibuat oleh bala mualang. Setelah pengikut Tua’ Lang Nginang berpencar, Tua’ Lang Nginang naik keatas pohon tapang sampai ke tempat yang dirasa cukup untuk mengintai musuh yang digiring masuk ke rencana serangan kelompok Tua’ Lang Nginang. Tak lama kemudian mulai tampak rombongan pengayau lainnya menuju masuk kearea tempat Tua’ Lang Nginang beserta pengikutnya mempersiapkan diri. Setelah dirasa  tepat sesuai strateginya, maka Tua’ Lang Nginang Nyelaing (teriakan khas perang orang mualang) teriakan tersebut didengar oleh musuh dan musuh mulai Nariu (teriakan perang), menyerang arah suara yang ditimbulkan oleh Lang Nginang. Musuh mengepung pohon kayu dalam radius tertentu guna mendapatkan korban kayau, dalam hal ini Tua’ Lang Ngindang yang mengintai dari atas pohon. Pihak musuh telah meresa yakin bahwa kali ini Tua’ Lang Ngindang menjadi sasaran kayau mereka, maka mereka memperagakan tarian dan teriakan perang, mereka menari dan mengibas-ngibaskan Nyaburnya mengepung area pohon tapang tempat Tua’ Lang Nginang bersembunyi. Tak berselang lama kemudian tiba-tiba terdegar suara bunyi suara burung kenyalang yang ramai dan saling bersaut-sautan disertai datangnya angin kuat (kudi’), melihat situasi tersebut Tua’ Lang Nginang melepaskan baju maramnya (baju adat tenun Dayak mualang)  mengaitkannya pada suatu dahan dipohon tersebut agar tetap terihat,  disaat bersamaan Tua’ Lang Ngindang meloncat dari pohon tersebut kepohon lainnya dan menuju ke kelompoknya yang sedang menunggu tanda dimulainya serangan guna menyergap musuh. Disaat angin dan suara burung kenyalang  berangsur - angsur menghilang, musuh yang telah panik, beberapa diantaranya menuju pohon tapang tempat Tua’ Lang Nginang mengintai dan naik keatas ingin mengambil Tua’ lang Nginang segera mungkin. Setelah musuh tiba diatas pohon mereka berteriak bahwa Tua’ Lang Nginang menghilang (ayas), yang ditemukan hanya baju maram saja. Mendengar informasi teriakan temannya dari atas pohon, bala pasukan musuh langsung seketika menyebar mulai tampak ketakutan bahwa orang mualang bisa menghilang. Saat itulah pasukan Tua’ Lang Nginang  tiba-tiba muncul dari balik lebatnya hutan, dari balik pohon, dari bawah rampuk ( semak-semak yang rendah) menyergap musuh – musuhnya, mereka Nyelaing / Mangkas (melakukan teiakan perang yang khas, guna mengambil semangat musuh) mereka mencabut nyaburnya dan bertarung dan  banyak menewaskan musuh. Pemimpin perang pasukan musuh / Panglima perang musuh berhadapan dengan Tua’ Lang Nginang, ia berusaha memantapkan / mengibas-ngibaskan nyaburnya ke berbagai arah guna mengenai Tua’ Lang Nginang, namun disuatu kesempatan Tua’ Lang Nginang meloncat tinggi dan memekik (nyelaing/ mangkas) membuat panglima musuh pucat dan mati semangat terbujur kaku tak sempat mengangkat terabai (perisai) dan saat itu Nyabur (pedang) Tua’ Lang Nginang dapat memancung (mumpong) kepala panglima musuh tersebut. Di situasi yang berbeda pula bala bujang berani mualang telah bertarung dan merobohkan satu persatu bala musuh mengakibatkan musuh habis terbunuh. Sementara musuh yang semula naik ke pohon, tidak berani turun dan lari. Bala pasukan Tua’ Lang Nginang memaksa musuh yang tersisa tersebut untuk turun dan menjadi tawanan (ulun) dibawa ke menua ( wilayah) mualang. Dari sekitar dua puluh musuh yang datang menyerang hanya tiga orang yang hidup dan menjadi tawanan. 

Tua’ Lang Nginang bersama pasukannya telah berhasil mengahkan musuh, mereka pulang ke menua mualang, kemenangan perang mereka disambut dengan upacara adat “Ajat Temuai Datai” (menyambut tamu kehormatan / tamu agung yang pulang dari ekspedisi mengayau dan mengalahkan musuh) ketika masuk ke wilayah mualang. Diawali dengan Nyelaing ( terikan perang) sebanyak tujuh kali sebagai tanda bahwa mereka telah menang dan taka da korban dipihaknya. Adapun kepala hasil kayau (hasil penggal) disambut oleh para wanita-wanita mualang menggunkan wadah beralaskan kain tenun (kain kebat) dan menari / ngajat nyamut pala’. ( tari menyambut kepala manusia).

Berdasarkan pengalaman yang kebeberapa kali pengayauan dari menua Jangkang ke daerah mualang dimasa lalu, selalu gagal, maka timbul istilah orang Jangkang memberikan gelar kepada Orang Mualang dengan sebutan Orang Engkayas artinya orang yang bisa menghilang ( engkayas / ayas = menghilang) dan juga timbul istilah dikalangan orang mualang jaman dahulu, jika mengayau ke daerah Jangkang mereka menggunakan istilah mengayau ke arah matahari padam dan juga jika mengayau ke Jangkang, ibaratnya menangkap ayam dalam kurungan ( upa berap manok dalam engkerungan) sebaliknya orang jangkang juga memunyai istilah jika mengayau ke daerah mualang diibaratkan makan lia / jahe di tengah panas matahari (makan lia’ tengah ari) mengandung arti panas atau susah atau untung-untungan jika hidup. Demikianlah cerita orang mengayau di jaman dahulu sebagai sejarah peristiwa, buah cerita generasi masa kini.

 

Sumber : Masyarakat daerah Belitang Hilir, Menawai. 1995

Da tulis ulang Th. 2020


Keterangan:


1.     Tua’ dalam bahasa Iban Mualang adalah : Panglima Perang.

2.  Manok Sabung merupakan istilah, guna menyebut para ksatria-ksatria / pendekar-     pendekar jago-jago yang dapat diandalkan / wakil tuak di medan kayau.

3.  Bujang Berani adalah para pemuda / bala yang keberaniannya dalam bertarung tak diragukan, bujang berani adalah petarung sejati dalam mengayau.

4.     5.Gambar Ilustrasi